Nama : Ledhia Arum
Kelas : 4EA13
Adapun hak-hak dari pekerja adalah sebagai berikut:
·
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan
yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (pasal 6).
·
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh
dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (pasal 11).
·
Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi
kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan
kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat
kerja (Pasal 18 ayat 1).
·
berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi (Pasal 23)
·
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh
penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (pasal 31).
·
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan
1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter
kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat 1). Pekerja/buruh perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat 2).
·
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu
istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal
80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
·
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
moral dan kesusilaan; dan
c.
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama (pasal 86 ayat 1).
·
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yg memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 88 ayat 1).
·
Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (pasal 99 ayat 1).
·
Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh (pasal 104 ayat 1).
·
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai
sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137).
·
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja
secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar
oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah (Pasal 145).
Sumber: UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Kasus
Hak Pekerja
Lima pekerja di salah satu
perusahaan transportasi di Pasuruan diberhentikan/ di-PHK karena bergabung
dengan Serikat Pekerja. Perusahaan PO.X memiliki beberapa divisi, diantaranya
adalah divisi bengkel dan divisi kru bis. Serikat Pekerja divisi bengkel telah
berhasil menuntut hak mereka yaitu mengenai upah, upah yang diberikan
sebelumnya Rp. 25.000/hari padahal Upah Minimum Kabupaten sebesar Rp.
40.000/hari dan biaya Jamsostek yang 100% dibebankan kepada pekerja. Sekarang
divisi bengkel telah menikmati upah yang sesuai dengan UMK dan memiliki
Jamsostek yang dibayarkan oleh perusahaan.
Mengikuti kesuksesan divisi
bengkel dalam menuntut hak kerja mereka, para pekerja di divisi
kru bis pun mulai bergabung dengan Serikat Pekerja. Pekerja divisi
kru bis banyak mengalami pelanggaran hak-hak pekerja, diantaranya adalah
pembagian upah yang menganut sistem bagi hasil. Perhitungannya sistem bagi
hasil tersebut adalah :
·
Supir : 14% dari pendapatan bersih per hari
·
Kondektur : 8% dari pendapatan bersih per hari
·
Kenek : 6% dari pendapatan bersih per hari
Apabila pekerja tidak masuk kerja
akan dikenakan denda sebanyak Rp. 500.000/hari kecuali tidak masuk kerja karena
sakit. Tunjangan Hari Raya pun tidak pernah diberikan kepada pekerja. Masalah
lain adalah mengenai tidak diberikannya fasilitas jamsostek, sehingga apabila
terjadi kecelakaan kerja (kecelakaan bus), pekerja harus menanggung
sendiri biayanya.
Akan tetapi, perjuangan divisi
kru bis lebih berat dibanding divisi bengkel karena perusahaan sudah
semakin pintar dalam berkelit. Mereka tidak mempunyai Perjanjian
Kerja Bersama (PKB), semua perintah dan peraturan dikemukakan secara lisan
sehingga pekerja tidak memiliki bukti tertulis yang bisa dijadikan senjata
untuk melawan perusahaan seperti halnya yang dilakukan pekerja di divisi
bengkel sebelumnya.
Kasus tersebut telah dilaporkan
ke Dinas Tenaga Kerja setempat, diputuskanlah bahwa kelima orang pekerja
tersebut akan mendapat pesangon dan kasusnya akan dibawa ke Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI). (Http://www.gajimu.com)
Kasus
Iklan Tidak Etis
Iklan yang tayang di televisi
yaitu iklan So Nice "So Good", "Fakta Bicara" oleh Badan
Pengawasan Periklanan, Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika Pariwara
Indonesia (EPI).
Keputusan yang dikeluarkan oleh
Badan Pengawasan Periklanan (BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
Pada iklan TV So Nice
"So Good", pelanggaran EPI terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang
mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang
tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7 menyatakan bahwa: "Jika suatu iklan
mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-daasr
jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
KPI Pusat juga mengingatkan
kepada para pembuat iklan dan televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar
Program Siaran (SPS) KPI Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib
berpedoman kepada EPI.
Selanjutnya KPI Pusat meminta
kepada semua stasiun TV untuk mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3-SPS) Tahun 2009 dan EPI. (KPI)
Diposkan oleh Dunia
TV di 20:00
ULASAN ;
Indonesia tidak dapat dipungkiri
merupakan pasar yang menggiurkan tidak hanya di kawasan Asia tapi
juga di dunia. Jumlah penduduk negara kepulauan ini mencapai lebih dari 200
juta jiwa dan merupakan sebuah pasar yang sangat menjanjikan bagi para pelaku
industri yang ingin melebarkan bisnisnya. Menjangkau sasaran pasarnya, bukanlah
pekerjaan mudah bagi para pelaku bisnis ini, karena itu mereka membutuhkan para
profesional yang membantu mereka untuk berkomunikasi kepada konsumen dengan
menggunakan media yang tepat dan pesan yang efektif.
Di sinilah peranan industri periklanan
di Indonesia yang menjembatani komunikasi antara produsen dan konsumennya.
Sejalan dengan semakin besarnya dunia pemasaran, maka semakin
berkembang pula industri periklanan di tanah air. Saat ini industri
periklanan di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. Hal ini
disebabkan konsumen Indonesia belum mengalami kejenuhan terhadap iklan seperti
halnya yang terjadi di negara lain. Industri iklan terus meroket dengan belanja
iklan yang terus naik setiap tahunnya. Pada tahun 2006 saja belanja iklan
Indonesia mencapai tujuh trilyun rupiah. Saat ini pemirsa Indonesia dikelilingi
oleh jumlah iklan terbanyak dari yang pernah terekam dalam sejarah industri ini
di Indonesia. Pemirsa TV Indonesia, sebagai contoh, menjadi sasaran 3.650.000 spot
iklan TV setiap tahun, atau 10.000 spot setiap hari, atau setara dengan 42 spot
setiap jam. Dengan kata lain, setiap dua menit acara ada satu menit iklan
(Subramaniam, 2006: 39).
Besarnya jumlah uang yang
berputar di industri iklan bagaikan manisnya gula yang terus memancing
datangnya “semut-semut” baru untuk terjun di dalam industri ini. Banyak
perusahaan-perusahaan iklan (advertising agency) global yang membuka kantornya
di Indonesia bersama dengan ratusan perusahaan iklan lokal memperebutkan kue iklan
yang sangat besar itu.
Karena besarnya jumlah uang yang
di raup dalam setiap penayangan iklan, tidak sedikit pula perusahaan yang tidak
memperhatikan etika dalam periklanan seperti contoh kasus iklan “ so nice so
good “, dalam iklan tersebut terselip kata persuasive “akan lebih tinggi dari
pada yang tidak makan sosis “untuk mempengaruhi customer mengkonsumsi product
sosis mereka. Kebenaran dalam iklan berkaitan dengan fungsi
informative.Hal ini menunjukkan adanya manipulasi makna karena kata–kata tersebut
adalah hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam etika periklanan.
Kasus
Etika Pasar Bebas
Pasar bebas adalah
pasar ideal, di mana adanya perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku
bisnis dengan aturan yang fair, transparan, konsekuen & objektif, memberi
peluang yang optimal bagi persaingan bebas yang sehat dalam
pemerataan ekonomi.
Pasar bebas diadvokasikan oleh
pengusul ekonomi liberalisme. Salah satu ukuran kemajuan suatu bangsa dan
keberhasilan suatu pemerintahan di era pasar bebas adalah tingkat kemampuannya
untuk menguasai teknologi ekonomi(J.Gremillion).
Negara-negara yang terlibat dalam
gelombang pasar bebas, menurut Gremillion, mesti memahami bahwa pada era
sekarang ini sedang didominasi oleh sebuah rancangan pembangunan dunia yang
dikenal sebagai Marshall Plan yang menjadi batu sendi interpen-densi
global yang terus memintai dunia.
Biar bagaimanapun rancangan
pembangunan dunia yang mengglobal itu selalu memiliki sasaran ekonomi dengan
penguasaan pada kemajuan teknologi ekonomi yang akan terus menjadi penyanggah
bagi kekuatan negara atau pemerintahan.
Artinya, dari penguasaan teknologi
ekonomi itulah, segala kekuatan arus modal investasi dan barang-barang hasil
produksi tidak menjadi kekuatan negatif yang terus menggerogoti dan melumpuhkan
kekuatan negara.Karena, senang atau tidak, kita sekarang sedang digiring masuk
dalam suatu era baru pada percaturan ekonomi danpolitik global yang
diikuti dengan era pasar bebas yang dibaluti semangat kapitalisme yang
membuntuti filosofi modal tak lagi berbendera dan peredaran barang tak lagi
bertuan.
Ini jelas menimbulkan
paradigma-paradigma baru yang di dalamnya semua bergerak berlandaskan pada
pergerakan modal investasi dan barang produksi yang tidak berbendera dan tidak
bertuan, yang akan terus menjadi batu sendi interpen-densi global yang terus
memintai dunia.
Yang terpenting adalah diperlukan
bangunan etika global yang berperan mem-back up setiap penyelewengan yang
terjadi di belantara pasar bebas.Kemiskinan, kemelaratan, dan ketidakadilan
yang terdapat di dunia yang menimpa negara-negara miskin hakikatnya tidak lagi
akibat kesalahan negara-negara bersangkutan sehingga itu pun menjadi tanggung
jawab global pula. Kesejahteraan dan keadilan global merupakan sesuatu
yang tercipta oleh keharmonisan berbagai kepentingan yang selalu memerhatikan
nilai-nilai moral dan tata etika yang dianut umum.Maksudnya, perilaku etis
global adalah perilaku negara-negara yang bertanggung jawab atas nasib
masyarakat dunia..
Tentunya ini menjadi
perhatian serius dari pemerintah, karena selama ini tidak pernah
maksimal dalam memperkuat dan memajukan industri nasional dalam menghadapi
tuntutan pasar bebas tersebut. Yang namanya pasar bebas tentu asas utamanya
adalah persaingan, yang bebas dari intervensi pemerintah untuk mengontrol harga
dari produk-produk yang diperdagangkan. Penilaiannya diserahkan kepada konsumen
untuk membeli produk yang diinginkannya.
Tentunya, setiap konsumen
kecenderungannya memilih suatu produk/barang dengan kualitas yang baik dan
harga yang murah. Bisa dipastikan sebagian dari produk-produk nasional ini akan
kalah bersaing dengan alasan kualitas dan nilai jual tersebut. Berikut
merupakan peran Pemerintah dalam pasar bebas, yaitu:
•
Efektif, karena begitu terjadi pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak
tertentu, pemerintah akan bertindak efektif dan konsekuen untuk membela pihak
yg dilanggar & menegakkan keadilan.
•
Minimal, karena sejauh pasar berfungsi dengan baik dan fair maka pemerintah
tidak terlalu banyak ikut campur.
Maka siapa saja yang melanggar
aturan main akan ditindak secara konsekuen, siapa saja yang dirugikan dak dan kepentingannya
akan dibela dan dilindungi oleh pemerintah terlepas dari status social dan
ekonominya.
Kasus Indomie di Taiwan
Akhir-akhir ini makin banyak
dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang
mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan
ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang
mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor
dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah
serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya
boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak
Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari
peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara
waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010).
Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai,
apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat
berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang
praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di
dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan
tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal
0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan
bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam
kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada
dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin
melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk
mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging,
ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan
muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia
yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang
regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan
anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya
untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Sumber :
Kasus
Whistle Blowing
Whistle Blower merupakan tindakan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan
kekurangan yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak
lain. Whistle blowing berkaitan dengan kecurangan yang merugikan
perusahaan sediri maupun pihak lain. Hal ini merupakan isu yang penting dan
dapat berdampak buruk, baik kepada individu tersebut maupun organisasi yang
dilaporkan (Vinten, 1994). Menurut Vardi dan Wiener (1996), tindakan
ini termasuk tindakan menyimpang karena menyalahi aturan inti pekerjaan dalam
perusahaan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Sedangkan menurut Moberg
(1997) tindakan ini dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap perusahaan.
Whistle Blowing dalam perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak yang kadang berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, 1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis terungkap, maka mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri. Penelitian Near & Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada. Kita dapat mengidentifikasi pola tingkatan dari OMB, yaitu sebuah tindakan tidak pantas yang dilakukan di dalam organisasi/perusahaan dan anggota dalam perusahaan memutuskan untuk menentang norma loyalitas kepada perusahaan dan mengungkapkan tindakan tidak pantas tadi kepada pihak luar. Dampaknya, organisasi/perusahaan akan melakukan tindakan menyimpang lebih jauh dengan mengambil aksi balas dendam kepada whistle blower tadi.
Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999). Tidaklah mudah untuk memastikan terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999) mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki kuasa lebih tinggi.
Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986) menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.
Whistle Blowing dalam perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak yang kadang berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, 1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis terungkap, maka mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri. Penelitian Near & Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada. Kita dapat mengidentifikasi pola tingkatan dari OMB, yaitu sebuah tindakan tidak pantas yang dilakukan di dalam organisasi/perusahaan dan anggota dalam perusahaan memutuskan untuk menentang norma loyalitas kepada perusahaan dan mengungkapkan tindakan tidak pantas tadi kepada pihak luar. Dampaknya, organisasi/perusahaan akan melakukan tindakan menyimpang lebih jauh dengan mengambil aksi balas dendam kepada whistle blower tadi.
Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999). Tidaklah mudah untuk memastikan terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999) mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki kuasa lebih tinggi.
Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986) menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.
Menurut James (1984), whistle
blower dalam for-profit organization akan dikenakan pemutusan kerja. Mereka
juga akan masuk dalam blacklist yang tidak mendapat surat rekomendasi.
Sementara itu, dalam non-for-profit organization, whistle blower biasanya
dipindahkan, diturunkan posisinya, dan tidak akan mendapat promosi.
Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.
Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.
Whistle bowing dibedakan menjadi
2 yaitu whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal.
Ø Whistle blowing internal
terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan
kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya.
Ø Whistle blowing eksternal
terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan
merugikan masyarakat.
Kasus
Jakarta - Vanny Rossyane pernah
berjasa dengan mengungkap bisnis dan pabrik sabu milik terpidana mati Freddy
Budiman. Atas jasa tersebut, Vanny seharusnya bisa menjadi whistle
blower.
"Menteri Hukum dan HAM saja
sebut dia sebagai whistle blower, masa dia ditangkap juga," ujar
kuasa hukum Vanny, Farhat Abbas, saat dikonfirmasi detikcom, Selasa
(17/9/2013).
Farhat mengatakan pengungkapan
bisnis dan pabrik sabu milik Freddy di LP Cipinang bukan hal yang mudah. Dan
hal itu sangat membantu dalam pemberantasan narkoba di negeri ini.
"Tidak ada alasan dia
ditangkap. BNN berhasil menemukan pabrik sabu di penjara," ungkapnya.
Wamenkum HAM Denny Indrayana pernah mengatakan Vanny bisa menjadijustice collaborator dalam kasus tersebut. "Seharusnya dia kan jadi justice collaborator," kata Denny, di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Jumat (26/7).Denny mengatakan, Vanny tidak akan ada diberikan sanksi terkait keterangannya mengungkap kebobrokan LP. "Kenapa harus diberi sanksi? Hubungannya apa? Kalau ada yang berkaitan tentu akan diupayakan dimintakan keterangan," ucapnya.
Wamenkum HAM Denny Indrayana pernah mengatakan Vanny bisa menjadijustice collaborator dalam kasus tersebut. "Seharusnya dia kan jadi justice collaborator," kata Denny, di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Jumat (26/7).Denny mengatakan, Vanny tidak akan ada diberikan sanksi terkait keterangannya mengungkap kebobrokan LP. "Kenapa harus diberi sanksi? Hubungannya apa? Kalau ada yang berkaitan tentu akan diupayakan dimintakan keterangan," ucapnya.
Vanny diamankan pada Senin (16/9)
pukul 22.30 WIB. Ditemukan bukti sabu dan bong di lokasi penangkapan di Hotel
Mercure, Jakarta Utara. Vanny kini masih diperiksa di Direktorat Narkoba Polri
di Cawang, Jaktim. Dia menyebut penangkapan itu merupakan penjebakan dan
rekayasa Freddy dkk.