Nama : Ledhia Arum
NPM : 13210987
Kelas : 2 EA 13
Lepasnya
Pulau Ligitan dan Sipadan dari NKRI
Pulau sipadan-ligitan merupakan objek sengketa
internasional antara indonesia dan malaysia. Pulau sipadan dengan luas 10,4 ha
terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil
laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik (Indonesia). Sedangkan pulau
ligitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut (seikitar 34 km) dari
pantai sabah (malaysia) dan 57,6 mil laut (sekitar 93 km) dari pantai pulau
sebatik.
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1973 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P.
Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta
bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang
sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya sesuai peta
unilateral 1979 malaysia serta mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan
fakta. Namun kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau
tersebut dalam “status quo”. Pada tahun 1989, masalah P. Sipadan dan
P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh kedua negara.
Pada tahun 1992 kedua negara sepakat
menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan
pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati
perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint
Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian
pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak
berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi
kebutuan. Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden
Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya
tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the
International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia
concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special
Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International
(MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan
di MI mulai berlangsung. Kedua negara memiliki kewajiban menyampaikan posisi
masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada
2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan
“reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing”
dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002.
Special agreement adalah persyaratan
prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang
dibawa ke mahkamah internasional. Masalah pokok yang dimintakan dalam special
agreement adalah mahkamah international dapat memutus suatu perkatra
berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis, dan bukti-bukti dokomen yang
diberikan oleh indonesia dan malaysia ke pengadilan. Special agreement juga
mencantumkan tentang kesediaan kedua negara untuk menerima hasil keputusan
dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat
akhir dan mengikat (final and binding).
Fakta-Fakta dan Argumen Kedua Belah
Pihak
ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna
mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan
(menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan
menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence,
effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar
keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument
that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”.
Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s
argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang
obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan
menerapkan doktrin effective occupation sebagai “pisau analisis”
tersebut. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini
adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical
date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang
ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua
kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak
berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969.
Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk
secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September
1963. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat
menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena
kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia
telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Effective Occupation sendiri adalah
doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi
kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang
berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara
fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif
penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau
wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan
dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa
diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim,
keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas.
Elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada
tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait
status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio
(baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti
pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective
occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada
bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang
mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan
hukum.
PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
MI dalam penyelesaian kasus ini menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan
Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah
tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan
dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara
tegas merujuk kedua pulau sengketa.
MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua
pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan
penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis
batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan
berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak
dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori van Toelichting yang
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut
dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi
1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau
sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang
berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia,
Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan
kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula
halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya
bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud
hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan
pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris
sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan
legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti
:
a.
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu
dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b.
Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur
penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c.
Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d.
Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962
di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969
yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau
Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua
negara, yakni:
a.
Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL
Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL
Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei
hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada
Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu,
bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada
tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b.
Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum
Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan
kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar
pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial
Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah
Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak
mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal
ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak
memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL
Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan
bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak
bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia,
Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as
effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or
under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian
dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas
Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa
dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah
berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa
sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa
sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai
peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and
administrative assertions of authority over territory which is specified by
name”.
ANALISIS KASUS
Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang
dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan
hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau
terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting
adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau
kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi
kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap
pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga
kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan
perundang-undangan.
Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang
diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris.
Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau
tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang
dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia
dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
Indonesia berdasarkan treaty-based title,
yaitu 1891 Convention yang membagi wilayah Belanda dan Inggris, tetapi
Indonesia tidak mencantumkan dua pulau itu dalam UU No. 4/Prp/1960 tentang
Perairan Indonesia, walaupun menurut Konvensi 1891 Sipadan-Ligitan berada di
bawah wilayah Belanda yang dilanjutkan pada Indonesia. Mahkamah lebih
memperhatikan Effective Control oleh Inggris yang diteruskan pada Malaysia,
yaitu (1) collection of turtle eggs sbg the most important economic
activity in 1914, (2) establishment of a bird sanctuary in 1933, (3)constructed
lighthouses in the early 1960s